LINTASSULTRA.COM | KONAWE – Di bawah langit yang teduh, dan angin yang berhembus pelan menyapu, Desa Matahoalu, Kecamatan Uepai, menjadi saksi hadirnya satu momen yang tak biasa, sebuah pertemuan antara harapan rakyat dan telinga wakilnya yang benar-benar mendengar.
Wakil Ketua II DPRD Konawe, Nasrullah Faizal, kembali ke tengah-tengah masyarakat, bukan hanya sebagai politisi, tapi sebagai saudara yang datang untuk mendengar dan memahami.
Kedatangan Nasrullah bukan dalam balutan formalitas, bukan pula sekadar agenda kerja semata. Reses yang ia gelar hari itu Rabu (18/2024), menjadi ruang terbuka, ruang di mana suara rakyat bersuara tanpa rasa ragu.
Warga Desa Matahoalu, dengan wajah penuh semangat dan harap, datang berbondong-bondong, membawa aspirasi yang selama ini tersimpan di benak mereka dari jalan yang rusak, potensi ekonomi yang belum tergarap, hingga pengairan sawah yang belum tertata baik.
Dalam dialog yang hangat dan terbuka, satu per satu warga menyampaikan harapan mereka. Salah satunya, permintaan pengaspalan jalan sepanjang empat kilometer yang selama ini menjadi nadi penghubung antardesa, namun kondisinya belum layak.
Tak hanya itu, muncul pula harapan untuk pengadaan empang serta bibit ikan guna memberdayakan potensi ekonomi lokal masyarakat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan darat.
Keluhan petani tentang pengairan sawah pun tak luput dari perhatian. Air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan justru kerap menjadi persoalan klasik. Saluran irigasi yang tidak merata dan tidak teratur membuat produktivitas pertanian terhambat.
Suara-suara lirih itu mengalir dalam forum, mengisi ruang dengan kejujuran dan kesederhanaan, jauh dari bahasa-bahasa politik yang rumit dan kering makna.
Pria yang akrab disapa Acho itu tak sekadar mendengar, ia menyimak. Dengan penuh empati, ia mencatat satu per satu aspirasi yang mengalir. Wajahnya menunjukkan ketulusan, matanya berbicara tentang kesungguhan. Dalam sambutannya, ia menyampaikan bahwa setiap keluhan dan permintaan warga bukanlah beban, melainkan amanah yang harus dijaga dan diperjuangkan.
“Setiap permintaan ini bukan hanya catatan bagi saya, tapi amanah yang harus saya kawal hingga menjadi nyata,” ucapnya dengan nada teduh namun penuh tekad, disambut anggukan dan tepuk tangan warga.
Suasana reses hari itu bukan sekadar agenda seremonial yang datang dan pergi. Ia menjadi momentum lahirnya kembali kepercayaan. Percaya bahwa di balik kursi legislatif yang kadang terasa jauh, masih ada sosok yang benar-benar peduli, hadir dengan hati, dan mau berjalan berdampingan dengan rakyat.
Nasrullah Faizal menyadari, bahwa tugasnya bukan sekadar merumuskan kebijakan atau mengesahkan anggaran. Lebih dari itu, tugasnya adalah menjadi jembatan antara mimpi rakyat dan kenyataan yang bisa disentuh. Ia tak menjanjikan langit, tapi ia berjanji akan memperjuangkan setiap harapan yang tertulis dalam batin rakyatnya.
Pertemuan itu pun usai menjelang magrib, namun semangatnya masih menggema di hati warga. Mereka pulang dengan harapan baru, bahwa suara mereka telah didengar, bahwa desa mereka tak dilupakan. Dan di hari itu, di bawah langit Desa Matahoalu yang perlahan berganti senja, benih harapan kembali disemai.
Karena sejatinya, membangun negeri bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang membangun kepercayaan—dan hari itu, Nasrullah Faizal telah menapaki satu langkah penting dalam membangun jembatan harapan itu.(Red/Inal).