LINTASSULTRA.COM | KONAWE – Buntut dari video viral di media sosial Facebook yang merekam dugaan penolakan rombongan mempelai pria saat prosesi adat Tolaki “Mowindahako”, kasus ini kini memasuki ranah hukum. Keluarga mempelai pria resmi melaporkan orang tua mempelai wanita, yang berinisial H dan D, ke Polres Konawe atas dugaan tindak pidana penipuan.
Laporan polisi tersebut dilayangkan oleh kuasa hukum keluarga mempelai pria, Jumrin dan Jaiman. Pihak terlapor (H dan D) dituduh melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan.
Jumrin, selaku kuasa hukum, menjelaskan bahwa langkah hukum ini terpaksa diambil setelah upaya mediasi adat menemui jalan buntu.
“Sebelumnya, pihak mempelai pria sudah menempuh jalur kekeluargaan dengan meminta Lurah Puosu dan Pemangku Adat untuk dilakukan prosesi Peohala (bayar denda dalam suku Tolaki) sebagai permohonan maaf dan pengembalian nama baik atas perbuatan orang tua mempelai wanita. Namun, upaya itu ditolak oleh keluarga wanita,” ujar Jumrin.
Berdasarkan laporan, kronologi peristiwa ini dimulai jauh sebelum hari pelaksanaan acara.
Kesepakatan Awal pada tanggal 5 Oktober 2025, pukul 15:30 WITA, pihak pelapor (keluarga pria) mendatangi kediaman terlapor (keluarga wanita) di Kelurahan Puosu, Kecamatan Tongauna, Konawe.
Dalam pertemuan itu, pihak pria membawa uang mahar sebesar Rp 30.000.000 (Tiga Puluh Juta Rupiah) beserta satu karung beras 50 kg.
“Kedua belah pihak sepakat bahwa acara penyelesaian adat (Mowindahako) akan dilaksanakan pada tanggal 8 November 2025, pukul 16:00 sore, di kediaman terlapor,” jelas Jumrin.
Kesepakatan itu juga menyebutkan acara akan disaksikan oleh pemerintah setempat (Lurah Puosu) dan tokoh adat kedua pihak, serta akan dilaksanakan jamuan tamu undangan sebagaimana mestinya acara pernikahan adat Tolaki.
Masalah terjadi saat hari pelaksanaan tiba, 8 November 2025. Rombongan keluarga mempelai pria tiba di lokasi tepat waktu pukul 16:00 WITA. Namun, setibanya di sana, mereka tidak mendapat sambutan.
“Sesampainya pelapor beserta rombongan di rumah terlapor, tidak ada sambutan. Pihak keluarga mempelai perempuan hanya acuh tak acuh,” ungkap Jumrin dalam uraian kronologi.
Rombongan keluarga pria terpaksa menunggu berdiri di luar rumah selama hampir satu jam. Karena lelah, mereka akhirnya berinisiatif masuk sendiri tanpa dipersilakan.
Kejanggalan berlanjut saat di dalam rumah. Rombongan pria tidak mendapati adanya perwakilan pemerintah (Lurah) maupun tokoh adat yang dijanjikan hadir. Kepala Desa dari pihak mempelai pria akhirnya berinisiatif menghubungi Lurah Puosu.
“Setelah beberapa saat, Pak Lurah Puosu datang, lalu melaksanakan penyelesaian adat Mowindahako ala kadarnya saja,” tambah Jaiman, kuasa hukum lainnya.
Di penghujung acara yang seadanya itu, situasi memanas ketika salah satu perwakilan keluarga mempelai pria bertanya kepada terlapor.
“Salah seorang dari keluarga kami bertanya, ‘apakah ini tidak ada kursi yang disiapkan untuk duduk ataupun perjamuannya untuk tamu undangan?'” tutur pelapor.
Pertanyaan itu diduga dijawab dengan nada menghina oleh salah seorang dari keluarga mempelai perempuan.
“Eh kalian lapar sehingga lagi ribut-ribut, sungguh kasihannya tidak punya malu,” teriak oknum tersebut, seperti ditirukan dalam laporan.
Hal ini menyulut emosi keluarga mempelai pria. Mereka membalas bahwa mereka tidak meributkan makanan, tetapi menuntut penghargaan.
“Kami datang baik-baik untuk menyelesaikan adat pernikahan anak kami, tapi kalian menyambut kami seperti ini. Tidak dipersilakan masuk ataupun duduk, padahal kami sudah memenuhi semua permintaan adat secara materiil,” balas pihak keluarga pria saat itu.
Atas rangkaian kejadian tersebut, keluarga mempelai pria merasa telah ditipu, dipermalukan, dan direndahkan, sehingga memutuskan untuk menempuh jalur hukum.*













