LINTASSULTRA.COM | KENDARI – Pihak kuasa hukum Deni Zainal kembali menegaskan bahwa penyebutan angka 100.000 metrik ton (MT) dalam amar putusan perkara Nomor 563/Pid.B/2018/PN Kdi tidak bisa dianggap sebagai kesalahan pengetikan atau kekeliruan administrasi sebagaimana disampaikan pihak Pengadilan Negeri Kendari.
Menurut kuasa hukum, pernyataan yang disampaikan oleh Budhi Yuwono kepada sejumlah media justru menunjukkan adanya kepanikan, lantaran dalam proses persidangan terbaru muncul fakta yang mengarah pada dugaan kuat pemalsuan dokumen yang dijadikan dasar laporan terhadap klien mereka.
Salah satu dokumen yang kini menjadi sorotan adalah Surat Pernyataan Damai tertanggal 28 Oktober 2018 yang terdiri dari dua halaman. Kuasa hukum menjelaskan, pada lembaran pertama surat tersebut seharusnya terdapat tanda tangan kedua belah pihak, yakni Deni Zainal dan Budhi Yuwono. Namun, dokumen yang disita dan dijadikan alat bukti hanya memuat tanda tangan Budhi Yuwono, tanpa tanda tangan Deni Zainal.
Selain itu, dalam surat tersebut tercantum nomor perkara 563/Pid.B/2018/PN Kdi, padahal pada tanggal dokumen itu dibuat, perkara tersebut belum memasuki tahap P21 dan belum dilimpahkan ke pengadilan, sehingga nomor perkara belum mungkin diketahui atau dicantumkan. Lebih janggal lagi, surat itu juga menyebut jumlah barang bukti ore nikel sebanyak 100.000 MT, sedangkan seluruh data penyidikan dan catatan resmi justru menyatakan bahwa barang bukti yang disita hanya dua tumpukan ore nikel yang berada di stock file PT. MBS di Desa Dunggua.
Keterangan mengenai barang bukti dua tumpukan ore nikel tersebut sesuai dengan berkas penyitaan, foto dokumentasi lapangan, tuntutan Jaksa Penuntut Umum, pertimbangan majelis hakim dalam salinan putusan, keterangan penyidik di persidangan, hingga data dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Kendari. Namun, secara ganjil, angka 100.000 MT muncul hanya pada halaman 45 bagian amar putusan, sementara seluruh uraian fakta persidangan tetap menyebut dua tumpukan ore nikel.
Kuasa hukum menilai, kemunculan angka 100.000 MT tersebut tidak bisa dianggap sebagai kesalahan ketik biasa. Hal itu dinilai memiliki keterkaitan dengan dokumen Surat Pernyataan Damai tanggal 28 Oktober 2018 yang juga memuat angka serupa. Kesamaan ini disebut menunjukkan adanya indikasi kesengajaan atau bahkan persekongkolan yang berimplikasi langsung pada kerugian yang dialami Deni Zainal.
Akibat penggunaan dokumen yang diduga telah diganti lembaran pertamanya, Deni Zainal disebut menjadi korban. Pada tahun 2018, ia harus menjalani hukuman penjara dan kehilangan dua tumpukan ore nikel yang kemudian diserahkan kepada Budhi Yuwono. Selain itu, ore nikel milik Deni Zainal di Desa Motui, yang tidak termasuk dalam barang bukti perkara, juga diduga telah dijual oleh Budhi Yuwono tanpa persetujuan pemilik.
Kini, Deni Zainal dan istrinya kembali menghadapi proses hukum dalam perkara Nomor 294/Pid.B/2025/PN Kdi dan Nomor 293/Pid.B/2025/PN Kdi, setelah dilaporkan kembali oleh Budhi Yuwono dengan tuduhan penipuan atau penggelapan 100.000 MT ore nikel — angka yang kini telah dikonfirmasi sendiri oleh Pengadilan sebagai kekeliruan pengetikan.
Kuasa hukum menilai tuduhan tersebut tidak memiliki dasar hukum dan bersifat fitnah, sebab seluruh bukti resmi tidak mendukung klaim adanya 100.000 MT ore nikel sebagaimana dituduhkan.
Pihak kuasa hukum juga mengungkap bahwa mereka telah mengajukan laporan resmi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) dan Komisi Yudisial (KY) pada 17 Oktober 2025, terkait dugaan penyimpangan prosedur dan indikasi suap dalam penanganan perkara tersebut.
“Kami memilih menunggu hasil pemeriksaan dari Bawas MA dan KY. Namun setelah seluruh proses hukum yang berjalan saat ini selesai, pihak kami telah menyiapkan tiga laporan pidana terhadap Budhi Yuwono,” tegas perwakilan kuasa hukum Deni Zainal.(Red/Inal).













