LINTASSULTRA.COM | KONAWE – Kepolisian Resort (Polres) Konawe saat ini sedang mendalami kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi di Desa Titiowa, Kecamatan Latoma, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Bermula dari aduan yang sebelumnya telah dilayangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Rakyat (Gerak) Sulawesi Tenggara (Sultra) pada, Senin 8 Agustus 2022 lalu, saat ini pihak Polres Konawe melalui Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) melakukan penyelidikan.
Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Konawe, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Ahmad Setiadi, S.IK melalui Kepala Satuan (Kasat) Reserse Kriminal (Reskrim) Ajun Komisaris Polisi (AKP) Moch. Jacob Nursagli Kamaru, S.IK saat dikonfirmasi media ini, Senin (29/8/2022) mengatakan pihaknya sementara melakukan penyelidikan.
“Kami sudah mengajukan kepada BPKP untuk dilakukan audit,” singkatnya.
Diberitakan sebelumnya, Pengawas pekerjaan Jalan Usaha Tani (JUT) yang Titiowa, Lita saat dikonfirmasi awak media, Senin 22 Agustus 2022 lalu mengatakan, pada tahun 2019 tidak ada pembangunan JUT yang dilaksanakan melainkan hanya pengerasan jalan sepanjang 1500 meter.
Dirinya baru mengetahui jika pada tahun 2019 ada pembukaan JUT dari LSM Gerak yang saat itu melakukan investigasi di desa Titiowa .
“Itu pun kami tidak tau kalau ada anggaran untuk pembukaan JUT, sedangkan anggaran pengerasan jalan tersebut saja kami tidak tahu berapa,” jelas Lita.
Lita menuturkan jika masyarakat di Titiowa sangat menyayangkan ketidak transparannya Pemerintah Desa Titiowa terkait pengerasan maupun pembukaan JUT.
“Ini mii masyarakat yang dimasalahkan, kenapa nda ada fisiknya padahal ada anggarannya. Boleh kita kelapangan cek langsung,” ujarnya.
Ia juga membeberkan, sedangkan kegiatan fisik di tahun 2020, dirinya tidak mengetahui secara pasti terkait pengerasan jalan sepanjang 2,1 Km.
“Papan informasi memang ada di ujung ketel, tapi tidak ada penjelasannya, hanya tertulis jumlah anggaran,” katanya.
Selain itu, Lita juga menerangkan jika HOK penghamparan jalan melibatkan 100 orang dan bekerja selama sehari di enam titik, namun mereka diupah untuk dua hari kerja.
“Mereka kerja hanya sehari dan dibayar 200 ribu rupiah, padahal sehari upah kerja cuma 100 ribu,” tutupnya.(Red/Inal).